SELAMAT DATANG DI BLOG INI. MOHON MA'AF BILA ADA YANG KURANG BERKENAN. SEMOGA ARTIKELNYA BERMANFAAT BAGI KITA SEMUA.

Interaksi Simbolik

Bersamaan dengan perspektif fenomenologis, pendekatan ini berasumsi bahwa pengalaman manusia ditengahi oleh penafsiran. Objek, orang, situasi, dan peristiwa tidak mempunyai pengertiannya sendiri, sebaliknya pengertian itu diberikan untuk mereka. Misalnya seorang teknolog pendidikan mungkin menentukan proyektor 16 mm sebagai alat yang akan digunakan ole guru untuk memperlihatkan film-film yang relevan  dengan tujuan pendidikan; seorang guru barangkali menetapkan penggunaan proyektor tersebut sebagai alat rekreasi untuk siswa apabila ia kehabisan bahan pelajaran sewaktu mengajar atau apabila ia sudah letih. Pengertian yang diberikan orang pada pengalaman dan proses penafsirannya adalah esensial serta menentukan dan bukan bersifat kebetulan atau bersifat kurang penting terhadap pengalaman itu.

Untuk memahami perilaku, kita harus mamahami definisi dan proses pendefinisiannya. Manusia terikat secara aktif dalam menciptakan dunianya sehingga dengan demikian ia mengerti akan pemisahan antara riwayat hidup dengan masyarakat yang merupakan sesuatu yang essensial. Manusia tidak dapat bertindak atas dasar respon yang telah ditentukan terlebih dahulu untuk mempradefinisikan obyek, tetapi lebih sebagai penafsiran, pendefinisian, “hewan simbolik” yang perilakunya hanya dapat dipahami dengan jalan peneliti memasuki proses definisi melalui metode seperti pengamatan-berperan serta.
Penafsiran bukanlah tindakan bebas dan bukan pula ditentukan oleh kekuatan manusia atau bukan. Orang-orang menafsirkan sesuatu dengan bantuan orang lain seperti orang-orang pada masa lalu, penulis, keluarga, pemeran di televisi, dan pribadi-pribadi yang ditemuinya dalam latar temapt mereka bekerja atau bermain, namun orang lain tidak melakukannya untuk mereka. Melalui interaksi seseorang membentuk pengertian. Orang dalam situasi tertentu (misalnya mahasiswa dalam ruang kuliah terrtentu) sering mengembangkan definisi bersama (atau “perspektif bersama” dalam bahasa interaksi-simbolik) karena mereka secara teratur berhubungan dan mengalami pengalaman bersama, masalah, dan latar belakang, tetapi kesepakatan tidak merupakan keharusan. Di pihak lain, sebagian memegang “definisi bersama” untuk menunjuk pada “kebenaran”, sautu pengertian yang senantiasa dapat disepakati. Hal itu dapat dipengaruhi oleh orang yang melihat sesuatu dari sisi yang lain. Bila bertindak atas dasar definisi tertentu, sesuatu barangkali tidak akan baik bagi seseorang. Biasanya pada seseorang ada masalah, dan masalah itu dapat membentuk definisi baru, dapat meniadakan yang lama, dengan kata lain apat berubah. Bagaimana definisi itu berubah atau berkembang merupakan pokok persoalan yang akan diteliti.
Jadi, penafsiran itu esensial. Interaksi simbolik menjadi paradigma konseptuakl melebihi “dorongan dari dalam”, “sifat-sifat pribadi”, “motivasi yang tidak disadari”,”kebetulan”, “status sosial ekonomi”, “kewajiban peranan”, “resep budaya”, “mekanisme pengawasan masyarakat”, atau lingkungan fisik lainnya. Faktor-faktor tersebut sebagian adalah konstrak yang digunakan para ilmuwan sosial dalam usahanya untuk memahami dan menjelaskan perilaku. Para interaksionis simbolik tidak menolak kenyataan bahwa konsep teoretik tersebut mungkin bermanfaat. Namun, hal itu hanya relevan untuk memahami perilaku sepanjang hal itu memasuki atau berpengaruh terhadap proses pendefinisian. Penganjur teori ini tidak boleh menolak adanya kenyataan bahwa terdapat adanya dorongan untuk makan dan bahwa ada efinisi kultural tentang bagaimana, apa, dan bilamana seseorang harus makan. Bagaimanapun, mereka harus menolak apabila dikatakan bahwa makan hanya dapat di-pahami dalam kerangka definisi kebudayaan dan dorongan. Makan dapat dipahami dengan melihatnya pada saling kaitan antara bagaimana orang mendefinisikan makan dan situasi khusus dimana mereka dapat memperolehnya. Makan dapat didefinisikan dengan beberapa cara yang berbeda, yaitu proses dialami secara berbeda, dan orang-orang menampakkan perilaku berbeda apabila sedang makan dalam situasi yang berbeda. Guru di sekolah mendefinisikan kapan waktu yang tepat untuk makan, apa yang dimakan, bagaimana cara makan yang berbeda antara siswa yang satu dengan yang lainnya pada tempat yang sama. Makan siang bisa berarti istirahat karena bekerja, gangguan yang menjengkelkan, kesempatan untuk melakukan pekerjaan pokok, waktu untuk diet, atau kesempatan memperoleh jawaban terhadap pertanyaan ujian. Makan bagi orang lain misalnya dapat merupakan tonggak dalam perkembangan hidupnya. Makan disini dinyatakan signifikan dengan jalan menyediakan peristiwa bagi seseorang untuk dapat mengukur apa yang sudah atau belum tercapai, berapa hari ia masih dapat bertahan, atau secepatnya seseorang akan terpaksa mengakhiri hari yang menyenangkan.
Dari gambaran di atas dapat dilihat bahwa makan siang mempunyai makna simbolik, dan konsep seperti dorongan dan ritual tidak berlaku. Teori itu tidak menolak bahwa ada aturan dan keteraturan, nilai, dan sistem nilai dalam masyarakat. Hal itu menjadi penting dalam memahami perilaku hanya jika orang mempertimbangkannya. Selanjutnya disarankan bahwa bukan aturan, keteraturan, norma, atau apa saja yang penting untuk memahami perilaku, melainkan bagaimana hal-hal itu didefinisikan dan digunakan dalam situasi-situasi khusus. Sekolah menengah mungkin memiliki sistim penilaian, susunan organisasi, jadwal kelas, kurikulum, dan motto resmi yang menyarankan tujuan pokok untuk “mendidik keseluruhan pribadi”. Manusia bertindak bukan atas dasar apa yang diwajibkan oleh  sekolah itu atau apa yang seharusnya dari sekolah itu atau menurut apa yang dikatakan oleh administrator, melainkan atas dasar bagaimana mereka memandang hal itu. Untuk sebagian, sekolah menengah itu merupakan tempat untuk bertemu dengan teman-temannya, atau malah tempat untuk memperoleh derajat yang lebih tinggi bagi sebagian siswa, sekolah merupakan tempat untuk memperoleh nilai dan mengumpulkan kredit sehingga mereka bisa lulus. Jadi, terakhir, mereka mendefinisikan tugas sebagai acuan ke perguruan tinggi atau memperoleh pekerjaan. Mereka mendefinisikan tindakannya walaupun ada aturan dan sistem kredit yang membawa pengaruh terhadap perilakunya. Organisasi-organisasi bervariasi dalam hal menyediakan pengertian yang pasti dan dalam hal bahwa alternatif pengertian tersedia dan diciptakan.   
Bagian lainnya yang penting dari teori interaksi simbolik ialah konstrak tentang “diri”. Diri itu tidak dilihat sebagai yang berada dalam individu seperti “aku” atau “kebutuhan yang teratur”, “motivasi”, dan “norma” seperti “nilai” dari dalam. Diri adalah definisi yang diciptakan orang (melalui interaksi dengan lainnya) di tempat ia berada. Dalam mengkonstrak atau mendefinisikan aku, manusia mencoba melihat dirinya sebagai orang lain, melihatnya dengan jalan menafsirkan tindakan dan isyarat yang diarahkan kepada mereka dengan jalan menenpatkan dirinya dalam peranan orang lain. Dengan singkat, kita melihat diri kita sendiri sebagai bagian dari orang lain melihat kita. Jadi, diri itu juga merupakan konstrak sosial, yaitu hasil persepsi seseorang terhadap dirinya dan kemudian mengembangkan definisi melalui proses interaksi. Cara ini memberi kesempatan bagi orang untuk bertumbuh dan berubah sepanjang mereka lebih banyak belajar tentang dirinya melalui proses interaksi tersebut. Cara konseptualisasi diri ini telah mengarah pada penelitian tentang self-fullfiling prophecy dan menyediakan latar belakang tentang apa yang dinamakan labelling approach terhadap perilaku seseorang.